Selasa, 30 November 2010

Pesugihan Buto Ijo


Menjelang Maghrib, seperti biasanya aku mendengar langkah riang dan nyaring dari sepasang sandal “gapyak” yang dipakai oleh si kecil Muning, anak tunggal tetangga kami yang kaya raya. Ibuku menyingkap tirai jendela dan mengintip keluar. Aku yang berdiri di belakangnya sempat menangkap wajah lucu dan cantik gadis berumur delapan tahun yang sore itu mengenakan  mukena putih berenda emas di tepinya. Pipi gadis itu terlihat memerah segar, terlihat sekali ia hidup penuh dengan kemakmuran. Ketika mataku beralih ke wajah ibu, maka yang kulihat adalah sebuah kekawatiran dan ketakutan yang teramat sangat. Aku ingin bertanya mengapa gerangan wajah ibuku sedemikian sendu setelah ia menutup tirai jendela.
“Sayang sekali,..anak itu tidak akan berumur panjang.” Gumam ibuku.
Aku terperanjat kaget. Bermacam tanya saling mendahului dari mulutku. Tapi ibu tetap bungkam.
Jawabannya aku temukan di sebuah pagi hari Jum’at. Ketika aku mendengar jeritan pilu dari rumah megah itu. Ibu Muning yang bertaburan segala macam perhiasan di seluruh tubuhnya itu meraung-raung, Muning, anak tunggalnya ditemukan meninggal di atas ranjang. Orang-orang datang melayat dengan mulut membisu. Mereka segera melakukan segala ritual untuk si mayat mungil yang kemarin sore masih terlihat sehat wal afiat, berjalan riang menuju Mushola untuk mengaji.Kejadiannya persis seperti kematian Nanang, kakak Muning. Sekitar empat tahun yang lalu.
Ketika mereka hendak memandikan si mayat, tiba-tiba Gung, si pemetik buah kelapa yang kebetulan pagi itu tengah di suruh untuk memetik kelapa muda untuk uba rampe acara penguburan nanti, tampak berlari-lari tergesa dan menerobos kerumuman orang. Ia berteriak-teriak panik. Wajahnya pucat-pias.
“Pak Kaum, mengapa kalian memandikan batang pisang ?” Gung berteriak protes. Ia menunjuk-nunjuk mayat Muning yang tengah di mandikan oleh kerabatnya. Semua orang menatap Gung dengan aneh. Salah satu dari mereka kemudian menarik Gung menjauh. Tetapi ia tetap saja berteriak-teriak protes. Ia sangat tidak mengerti mengapa semua orang tidak dapat melihat bahwa jasad yang mereka mandikan itu bukanlah tubuh Muning, tetapi hanya sebatang pohon pisang yang dingin.
Bertepatan dengan itu, Mbah Wijo yang tiap harinya selalu menawarkan  sayur-mayur kepada keluarga kaya raya itu tengah mengayuh sepedanya. Tiba-tiba di perempatan jalan ia melihat Muning tengah berjalan dengan diam menuju selatan. Mbah Wijo segera menghentikan sepedanya dan menyapa gadis kecil itu dengan heran.
“Nduk Muning mau ke mana ? Kok Sendirian ? “
Muning tetap diam dan terus berjalan.
Mbah Wijo semakin heran, dengan masih penasaran ia segera mengayuh kembali sepedanya. Kali ini lebih cepat. Ia ingin memberitahukan keluarga kaya-raya itu kalau anaknya pergi dari rumah, dengan muka yang sangat sedih. tetapi baru beberapa kayuh ia melihat serombongan orang berjalan. Lalu ia bertanya.
Salah satu dari mereka menjawab.
“Mau melayat Muning, anaknya juragan itu…”
Dan Mbah Wijo pun pingsan dengan sukses.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar